Rabu, 18 Juni 2014

Novel Jawa (Sastra)

Ringkasan novel “Amangkurat” karya Ardian Kresna

Setelah Sultan Agung wafat, mataram diberikan kepada anaknya yang bernama Amangkurat Agung. Sangat berbeda dengan sang ayah, Amangkurat Agung memerintah dengan kejam. Dia tidak segan-segan untuk menghukum mati semua orang yang dianggap mengkhianatinya dan berbahaya untuknya. Bahkan saat pemerintahannya, Amangkurat Agung juga menjalin hubungan kerjasama dengan kompeni VOC yang merupakan musuh dari Sultan Agung. Amangkurat Agung melakukan cara apapun untuk memperluas daerah kekuasaannya, salah satunya yaitu dengan menjodohkan anaknya yang bernama Tejoningrat dengan putri raja Cirebon. Akan tetapi perjodohan tersebut tidak berjalan lancar karena Tejoningrat tidak menyukai putri Cirebon tersebut. Setelah mengetahui hal tersebut, Amangkurat marah besar dan mencabut gelar putra mahkota Tejoningrat, yang kemudian gelar tersebut diberikan kepada anaknya yang lain yang bernama Pangeran Singosari. Saat itu juga Tejoningrat diusir dari kraton. Hal inilah yang menjadi titik awal pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat Agung. Secara diam-diam, Tejoningrat mengumpulkan kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat dan mengembalikan gelarnya kembali. Tejoningrat sering menemui sekutunya di Dalem Surabayan untuk mengatur strategi. Salah satu sekutu Tejoningrat ialah Trunojoyo. Trunojoyo menyanggupi membantu Tejoningrat karena dia ingin membebaskan Madura dari pengaruh Mataram. Hal pertama yang dilakukan Trunojoyo ialah berangkat ke Madura bersama keluarga dan pasukannya untuk membangun kekuatan bagi perjuangannya tersebut. Pemberontakan Trunojoyo selanjutnya ialah menculik pamanya sendiri, Cakraningrat II, beserta keluarganya untuk diasingkan ke Lodaya, Kediri. Setelah itu Trunojoyo menobatkan diri sebagai raja merdeka di Sampang. Tidak berhenti sampai disitu, Trunojoyo juga menjalin hubungan kerjasama dengan Karaeng Galesong, pemimpin rakyat Makassar pendukung Sultan Hasanuddin. Mengetahui hal tersebut, Amangkurat Agung semakin murka. Sebenarnya saat itu, Amangkurat telah menaruh curiga jika Tejoningrat bersekongkol atas pemberontakan yang dilakukan Trunojoyo, maka atas alasan itu Amangkurat Agung mengutus Tejoningrat untuk menemani Pangeran Singosari untuk melawan pemberontakan Trunojoyo untuk meyakinkan apakah Tejoningrat benar-benar bersekongkol atau tidak. Tejoningrat pun menyangggupi permintaan ayahnya agar ayahnya tidak curiga kepadanya. Tetapi tanpa diketahui oleh ayahnya, Tejoningrat ternyata telah membuat perjanjian dengan Trunojoyo bahwa nanti pada pertempura nanti mereka tidak saling menyakiti. Selain dipusingkan dengan memikirkan nasib utusannya yang dikirim untuk melawan pemberontakan Trunojoyo, saat itu Amangkurat Agung juga dipusingkan dengan Ratu Truntum, permaisuri kesayangannya, yang tiba-tiba sakit tanpa diketahui penyebabnya. Hari demi hari kesehatan Ratu Truntum semakin menurun. Tetapi tak berapa lama, Ratu Truntum akhirnya meninggal dunia. Hal tersebut membuat Amangkurat Agung semakin terpuruk. Apalagi setelah itu, dia mendapat kabar bahwa putranya, Pangeran Singasari, telah wafat dalam pertempuran. Hingga suatu hari, Amangkurat Agung menyuruh utusannya untuk mencarikan pengganti Ratu Truntum yang telah wafat. Akhirnya pilihan Amangkurat jatuh kepada Ho Yen atau Roro Oyi yang merupakan gadis keturunan Cina yang dianggap memiliki katuranggan prebawa yang kuat. Tetapi karena usia Roro Oyi yang saat itu masih muda, maka Amangkurat Agung pun menitipkan Roro Oyi kepada Ngabehi Wirorejo untuk dipingit selama 2 tahun sebelum ia nikahi.
Karena khawatir akan keselamatan putranya dalam melawan Trunojoyo, maka Amangkurat Agung menyuruh Tejoningrat untuk kembali ke Mataram. Akan tetapi kepulangan Tejoningrat tersebut memunculkan masalah, pasalnya Tejoningrat tidak sengaja melihat Roro Oyi dan seketika jatuh hati padanya. Selama berhari-hari Tejoningrat dilanda demam asmara, hal tersebut diketahui oleh kakeknya, Raden Pekik. Kakek Tejoningrat yang tidak tahan melihat cucunya seperti itu lantas berinisiatif untuk membawa Roro Oyi pulang dan menikahkan dengan Tejoningrat. Pernikahan tersebut rupanya diketahui oleh Amangkurat Agung dan lantas membuatnya murka. Keluarga Ngabehi Wirorejo dan Raden Pekik pun langsung dijatuhi hukuman mati. Dan saat itu pula Tejoningrat disuruh menghadap ayahnya. Saat bertemu ayahnya, Tejoningrat diberi pilihan ingin mendapatkan kekuasaan di Mataram atau tidak, jika ia menginginkannya maka ia harus membunuh Roro Oyi. Maka tanpa menunggu, Tejoningrat langsung pulang dan membunuh istrinya. Tanpa disangka-sangka, ternyata Tejoningrat malah diusir ayahnya dari istana. Sejak saat itu Amangkurat Agung semakin terpuruk, hal ini semakin mempermudah jalan bagi Trunojoyo untuk memberontak Mataram. Bala laskar Trunojoyo pun semakin mengganas dan semakin mematangkan siasat untuk menggempur Mataram. Saat itu Amangkurat Agung sedang sakit, maka Tejoningrat membawa ayahnya untuk segera pergi dari istana Pleret sebelum Trunojoyo tiba. Sehari setelah kepergian rombongan Raja dari istana, rombongan Trunojoyo pun tiba di Plered dan langsung melakukan serangan besar-besarnya. Dalam serangan itu Trunojoyo mengambil rampasan perang dari istana dan membawa pulang putri Amangkurat untuk diperistri.
Dalam pelariannya, Amangkurat Agung semakin lemah fisiknya. Hingga suatu hari saat Tejoningrat dengan teganya menaruh racun kedalam air kelapa yang akan diminum ayahnya. Tak berselang lama Amangkurat Agung pun wafat dan dimakamkan di Tegal. Pada saat 40 hari kematian Amangkurat Agung, Kadipaten Tegal diributkan oleh para prajurit yang melihat cahaya putih diatas pusara Amangkurat. Sesepuh disana percaya bahwa sinar yang berpendar itu merupakan wahyu keprabon mendiang Amangkurat Agung yang akan berpindah. Dan ternyata beberapa orang melihat jika sinar tersebut masuk ke dalam raga Tejoningrat, maka sejak saat itu mereka yakin kalau pengganti Amangkurat Agung ialah Tejoningrat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar