Ringkasan novel “Amangkurat” karya Ardian Kresna
Setelah Sultan Agung wafat, mataram diberikan kepada
anaknya yang bernama Amangkurat Agung. Sangat berbeda dengan sang ayah,
Amangkurat Agung memerintah dengan kejam. Dia tidak segan-segan untuk menghukum
mati semua orang yang dianggap mengkhianatinya dan berbahaya untuknya. Bahkan
saat pemerintahannya, Amangkurat Agung juga menjalin hubungan kerjasama dengan
kompeni VOC yang merupakan musuh dari Sultan Agung. Amangkurat Agung melakukan
cara apapun untuk memperluas daerah kekuasaannya, salah satunya yaitu dengan
menjodohkan anaknya yang bernama Tejoningrat dengan putri raja Cirebon. Akan
tetapi perjodohan tersebut tidak berjalan lancar karena Tejoningrat tidak
menyukai putri Cirebon tersebut. Setelah mengetahui hal tersebut, Amangkurat
marah besar dan mencabut gelar putra mahkota Tejoningrat, yang kemudian gelar
tersebut diberikan kepada anaknya yang lain yang bernama Pangeran Singosari.
Saat itu juga Tejoningrat diusir dari kraton. Hal inilah yang menjadi titik
awal pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat Agung. Secara
diam-diam, Tejoningrat mengumpulkan kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan
Amangkurat dan mengembalikan gelarnya kembali. Tejoningrat sering menemui
sekutunya di Dalem Surabayan untuk mengatur strategi. Salah satu sekutu
Tejoningrat ialah Trunojoyo. Trunojoyo menyanggupi membantu Tejoningrat karena
dia ingin membebaskan Madura dari pengaruh Mataram. Hal pertama yang dilakukan
Trunojoyo ialah berangkat ke Madura bersama keluarga dan pasukannya untuk
membangun kekuatan bagi perjuangannya tersebut. Pemberontakan Trunojoyo
selanjutnya ialah menculik pamanya sendiri, Cakraningrat II, beserta
keluarganya untuk diasingkan ke Lodaya, Kediri. Setelah itu Trunojoyo
menobatkan diri sebagai raja merdeka di Sampang. Tidak berhenti sampai disitu,
Trunojoyo juga menjalin hubungan kerjasama dengan Karaeng Galesong, pemimpin
rakyat Makassar pendukung Sultan Hasanuddin. Mengetahui hal tersebut,
Amangkurat Agung semakin murka. Sebenarnya saat itu, Amangkurat telah menaruh
curiga jika Tejoningrat bersekongkol atas pemberontakan yang dilakukan
Trunojoyo, maka atas alasan itu Amangkurat Agung mengutus Tejoningrat untuk
menemani Pangeran Singosari untuk melawan pemberontakan Trunojoyo untuk
meyakinkan apakah Tejoningrat benar-benar bersekongkol atau tidak. Tejoningrat pun
menyangggupi permintaan ayahnya agar ayahnya tidak curiga kepadanya. Tetapi
tanpa diketahui oleh ayahnya, Tejoningrat ternyata telah membuat perjanjian
dengan Trunojoyo bahwa nanti pada pertempura nanti mereka tidak saling
menyakiti. Selain dipusingkan dengan memikirkan nasib utusannya yang dikirim
untuk melawan pemberontakan Trunojoyo, saat itu Amangkurat Agung juga
dipusingkan dengan Ratu Truntum, permaisuri kesayangannya, yang tiba-tiba sakit
tanpa diketahui penyebabnya. Hari demi hari kesehatan Ratu Truntum semakin
menurun. Tetapi tak berapa lama, Ratu Truntum akhirnya meninggal dunia. Hal
tersebut membuat Amangkurat Agung semakin terpuruk. Apalagi setelah itu, dia
mendapat kabar bahwa putranya, Pangeran Singasari, telah wafat dalam
pertempuran. Hingga suatu hari, Amangkurat Agung menyuruh utusannya untuk
mencarikan pengganti Ratu Truntum yang telah wafat. Akhirnya pilihan Amangkurat
jatuh kepada Ho Yen atau Roro Oyi yang merupakan gadis keturunan Cina yang
dianggap memiliki katuranggan prebawa
yang kuat. Tetapi karena usia Roro Oyi yang saat itu masih muda, maka
Amangkurat Agung pun menitipkan Roro Oyi kepada Ngabehi Wirorejo untuk dipingit
selama 2 tahun sebelum ia nikahi.
Karena khawatir akan keselamatan putranya dalam
melawan Trunojoyo, maka Amangkurat Agung menyuruh Tejoningrat untuk kembali ke
Mataram. Akan tetapi kepulangan Tejoningrat tersebut memunculkan masalah,
pasalnya Tejoningrat tidak sengaja melihat Roro Oyi dan seketika jatuh hati
padanya. Selama berhari-hari Tejoningrat dilanda demam asmara, hal tersebut
diketahui oleh kakeknya, Raden Pekik. Kakek Tejoningrat yang tidak tahan
melihat cucunya seperti itu lantas berinisiatif untuk membawa Roro Oyi pulang
dan menikahkan dengan Tejoningrat. Pernikahan tersebut rupanya diketahui oleh
Amangkurat Agung dan lantas membuatnya murka. Keluarga Ngabehi Wirorejo dan
Raden Pekik pun langsung dijatuhi hukuman mati. Dan saat itu pula Tejoningrat
disuruh menghadap ayahnya. Saat bertemu ayahnya, Tejoningrat diberi pilihan
ingin mendapatkan kekuasaan di Mataram atau tidak, jika ia menginginkannya maka
ia harus membunuh Roro Oyi. Maka tanpa menunggu, Tejoningrat langsung pulang
dan membunuh istrinya. Tanpa disangka-sangka, ternyata Tejoningrat malah diusir
ayahnya dari istana. Sejak saat itu Amangkurat Agung semakin terpuruk, hal ini
semakin mempermudah jalan bagi Trunojoyo untuk memberontak Mataram. Bala laskar
Trunojoyo pun semakin mengganas dan semakin mematangkan siasat untuk menggempur
Mataram. Saat itu Amangkurat Agung sedang sakit, maka Tejoningrat membawa
ayahnya untuk segera pergi dari istana Pleret sebelum Trunojoyo tiba. Sehari
setelah kepergian rombongan Raja dari istana, rombongan Trunojoyo pun tiba di
Plered dan langsung melakukan serangan besar-besarnya. Dalam serangan itu
Trunojoyo mengambil rampasan perang dari istana dan membawa pulang putri
Amangkurat untuk diperistri.
Dalam pelariannya, Amangkurat Agung semakin
lemah fisiknya. Hingga suatu hari saat Tejoningrat dengan teganya menaruh racun
kedalam air kelapa yang akan diminum ayahnya. Tak berselang lama Amangkurat
Agung pun wafat dan dimakamkan di Tegal. Pada saat 40 hari kematian Amangkurat
Agung, Kadipaten Tegal diributkan oleh para prajurit yang melihat cahaya putih
diatas pusara Amangkurat. Sesepuh disana percaya bahwa sinar yang berpendar itu
merupakan wahyu keprabon mendiang Amangkurat Agung yang akan berpindah. Dan
ternyata beberapa orang melihat jika sinar tersebut masuk ke dalam raga
Tejoningrat, maka sejak saat itu mereka yakin kalau pengganti Amangkurat Agung
ialah Tejoningrat.