Minggu, 22 Juni 2014

Geguritan

Satriya Piningit


aku ngerti kuwi wewaler
aku pana yen gawe sengsara
nanging aku tanpa daya
ora bisa sambat karo sapa wae
            aku wong cilik sing kabanda
                  netra picek karna budhek
                  uwaling kalamangsa
                  ngenteni tekane ukum karma
wong pinter padha keblinger
sewu siji isih ana sing bener
pestine urip tan dingerteni
lamun kodrat tangeh diruwat

Sejarah Singkat Radya Pustaka

A.    Sejarah Singkat Radya Pustaka

Radaya Pustaka berasal dari kata Radya yang berarti negara dan pustaka yang berarti buku, jadi Radya Pustaka artinya buku negara. Negara yang dimaksud disini ialah keraton, sehingga Radya Pustaka ialah tempat untuk menghimpun buku-buku atau koleksi pustaka dari keraton Kasunanan Surakarta.
Radya Pustaka didirikan oleh KRA Sosrodiningrat pada tahun 1890, saat itu beliau merupakan seorang patih pada masa pemerintahan Paku Buwana IX dan Paku Buwana X dengan koleksi benda-benda kraton dan naskah kraton. Letak Radya Pustaka saat itu berada di Kepatihan, Surakarta. Namun saat itu masyarakat sekitar kurang berminat untuk datang dan melihat-lihat koleksi karena, karena masyarakat merasa sungkan jika harus datang ke Kepatihan dan harus berbusana rapi. Lama kelamaan koleksi Radya Pustaka semakin banyak dan meningkat, sehingga tempat di Kepatihan sudah tidak muat lagi untuk menampun koleksi pustaka. Pada akhirnya, KRA Sosrodiningrat membeli sebuah rumah milik orang Belanda di daerah Loji Kadipolo (saat ini Jalan Slamet Riyadi) dan Radya Pustaka pun dipindahkan kesitu. Karena jumlah buku dan naskah-naskah kuna sudah banyak, maka Sosrodiningrat memisahkan antara tempat koleksi naskah dengan koleksi benda-benda kraton. Seiiring waktu, tempat koleksi buku dan naskah keraton ini disebut dengan nama perpustakaan Radya Pustaka karena letaknya yang bergabung dengan museum Radya Pustaka. Saat ini perpustakaan Radya Pustaka terdbagi lagi menjadi 2, yakni perpustakaan khusus manuscript dan perpustakaan buku umum.

Rabu, 18 Juni 2014

Sinopsis novel Trunojoyo karya Gamal Komandoko

Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung dapat menaklukan Madura dari berbagai peperangan yang telah Mataram lakukan, dan akhirnya Sultan Agung menunjuk Raden Prasena sebagai penguasa tunggal di Madura dengan gelar Cakraningrat. Selama dua puluh satu tahun sejak penaklukan Madura, Mataram telah sangat jauh mengalami perubahan dan kesejahteraan rakyat semakin meningkat. Wilayah kekuasaan Mataram pun kian meluas sejak menaklukan Madura. Kemudian pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan jasadnya dimakamkan di Imogiri. Sejak itu tahta Mataram diserahkan kepada Raden Sayidin yang terkenal dengan gelar Sunan Amangkurat Agung. Amangkurat Agung pun telah dinobatkan menjadi Raja Mataram setelah diadakan acara penobatan menggunakan kembang Wijayakusuma yang sangat sulit didapatkan. Saat bertahta, Amangkurat menginginkan istana dipindah ke Plered dengan bangunan yang sangat megah. Hari-hari Amangkurat Agung dihabiskan untuk bersenang-senang dengan dua permaisurinya dan selir-selir yang tak terhitung jumlahnya. Karena perilaku sang raja yang kurang baik itu, maka secara diam-diam Tumenggung Danupaya, Tumenggung Pasisingan dan Agra Yudha berusaha membujuk Pangeran Alit (adik Amangkurat Agung) untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat Agung. Akan tetapi rencana tersebut telah diendus oleh Amangkurat Agung. Maka saat itu juga, Amangkurat Agung mengutus Tumenggung Danupaya untuk menjadi senapati perang di Blambangan supaya Tumenggung Danupaya mati di peperangan. Amangkurat Agung lalu memenggal kepala Tumenggung Pasisingan dan Agra Yudha. Akan tetapi karena rasa sayang terhadap sang adik, maka Amnangkurat tidak memberi hukuman kepada Pangeran Alit, tetapi hanya menyuruh Pangeran Alit untuk menyerahkan para abdi dan pengikutnya. Akan tetapi, Pangeran Alit melakukan pemberontakan dan akhirnya dia wafat karena terhunus kerisnya sendiri. Mendengar semua kejadian itu, maka Tumenggung Danupaya meminum racun saat menjadi senapati perang, tetapi saat itu prajurit Mataram telah berhasil menaklukan Blambangan dan Bali. Setelah pemberontakan Pangeran Alit, kelakuan Amangkurat kain menjadi-jadi dan bahkan ia melakukan hubungan kerjasama dengan pihak kompeni VOC.

Trunojoyo merupakan anak dari Demang Melayakususma dan cucu Cakraningrat. Trunojoyo saat itu kehilangan sang kakek dan menjadi yatim akibat pemberontakan Pangeran Alit di Plered. Saat itu juga, pemerintahan Madura dipimpin oleh adik Demang Melayakusuma yang bergelar Cakraningrat II. Cakraningrat II sangat loyal terhadap Amangkurat Agung. Dia mencoba membunuh Trunojoyo karena Trunojoyo dianggap membahayakan bagi jabatannya, hal itu dikarenakan rakyat Madura sangat menyayangi Trunojoyo. Namun Trunojoyo berhasil melarikan diri sebelum Cakraningrat II berhasil menangkap dan membunuh Trunojoyo. Trunojoyo saat itu ingin mengabdi kepada Adipati Anom akan tetapi waktunya tidak tepat. Saat itu Tejoningrat sedang bermasalah dengan ayahnya karena dia telah merebut calon istri ayahnya yang berupa Roro Oyi, dan Tejoningrat diasingkan ke Lipura. Trunojoyo akhirnya mengurungkan niat untuk mengabdi kepada Tejoningrat dan memilih untuk mengembara hingga tiba di Kajoran. Disana ia bertemu dengan Panembahan Rama, kemudian ia menikah dengan anak Panembahan Rama. Lewat Panembahan Rama pula Trunojoyo dikenalkan dengan Tejoningrat. Saat itu Tejoningrat meminta bantuan kepada Panembahan Rama untuk menggulingkan kekuasaan ayahnya. Panembahan Rama pun menyuruh Trunojoyo untuk membantu Tejoningrat dalam memberontak kekuasaan Amangkurat Agung. Dalam pemberontakannya, Trunojoyo mendapat bantuan dari Kraeng Galengsong dari Makassar. Kraeng Galengsong yang akhirnya mati di tangan Trunojoyo karena dianggap telah berkhianat terhadap Trunojoyo. Pemberontakan yang dilakukan Trunojoyo dan Kraeng Galengsong berbuah kemenangan dan hal ini membuat Tejoningrat senang. Pemberontakan Trunojoyo semakin dianggap membahayakan bagi seluruh warga istana Plered, maka Amangkurat Agung memutuskan untuk melakukan pengungsian untuk menyelamatkan nyawanya. Dalam pengungsian tersebut Amangkurat Agung jatuh sakit dan meminta minum air kelapa. Tetapi betapa teganya, tenyata air kelapa tadi sudah dimasuki racun oleh Adipati Anom. Sebenarnya Amangkurat Agung telah mengetahuinya dan tetap meminum air kelapa tadi, bahkan dia telah mengetahui rencana pemberontakan yang dilakukan Adipati Anom untuk menggulingkan kekuasaanya. Akan tetapi sebelum wafat, Amangkurat Agung berpesan kepada Adipati Anom untuk melawan Trunojoyo dan bergabung dengan Kompeni jika ia menginginkan tahta Mataram. Sejak saat itu Adipati Anom bersumpah ingin membalas dendam kepada Trunojoyo yang telah tega memfaatkan dirinya. Setelah kematian Amangkurat Agung, Adipati Anom memerintah Mataram dengan gelar Amangkurat Senapati ing Alaga. Dia menjalin kerjasama dengan pihak Kompeni Belanda seperti wasiat ayahnya. Dengan batuan Kompeni, maka sang Raja membalas dendam dengan berperang melawan pasukan Trunojoyo. Hingga akhirnya Amangkurat Senapati ing Alaga dapat menangkap Trunojoyo. Dibunuhlah Trunojoyo dengan cara yang begitu sadis dengan cara menusukkan keris Kiai Belaber pada tubuh Trunojoyo hingga tembus. Kemudian hati Trunojoyo dipotong dan dimakan beramai-ramai oleh para petinggi kraton. Sedangkan kepala Trunojoyo dijadikan tempat membersihkan kaki lantas kepala Trunojoyo ditumbuk hingga hancur lebur. 

Novel Jawa (Sastra)

Ringkasan novel “Amangkurat” karya Ardian Kresna

Setelah Sultan Agung wafat, mataram diberikan kepada anaknya yang bernama Amangkurat Agung. Sangat berbeda dengan sang ayah, Amangkurat Agung memerintah dengan kejam. Dia tidak segan-segan untuk menghukum mati semua orang yang dianggap mengkhianatinya dan berbahaya untuknya. Bahkan saat pemerintahannya, Amangkurat Agung juga menjalin hubungan kerjasama dengan kompeni VOC yang merupakan musuh dari Sultan Agung. Amangkurat Agung melakukan cara apapun untuk memperluas daerah kekuasaannya, salah satunya yaitu dengan menjodohkan anaknya yang bernama Tejoningrat dengan putri raja Cirebon. Akan tetapi perjodohan tersebut tidak berjalan lancar karena Tejoningrat tidak menyukai putri Cirebon tersebut. Setelah mengetahui hal tersebut, Amangkurat marah besar dan mencabut gelar putra mahkota Tejoningrat, yang kemudian gelar tersebut diberikan kepada anaknya yang lain yang bernama Pangeran Singosari. Saat itu juga Tejoningrat diusir dari kraton. Hal inilah yang menjadi titik awal pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat Agung. Secara diam-diam, Tejoningrat mengumpulkan kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat dan mengembalikan gelarnya kembali. Tejoningrat sering menemui sekutunya di Dalem Surabayan untuk mengatur strategi. Salah satu sekutu Tejoningrat ialah Trunojoyo. Trunojoyo menyanggupi membantu Tejoningrat karena dia ingin membebaskan Madura dari pengaruh Mataram. Hal pertama yang dilakukan Trunojoyo ialah berangkat ke Madura bersama keluarga dan pasukannya untuk membangun kekuatan bagi perjuangannya tersebut. Pemberontakan Trunojoyo selanjutnya ialah menculik pamanya sendiri, Cakraningrat II, beserta keluarganya untuk diasingkan ke Lodaya, Kediri. Setelah itu Trunojoyo menobatkan diri sebagai raja merdeka di Sampang. Tidak berhenti sampai disitu, Trunojoyo juga menjalin hubungan kerjasama dengan Karaeng Galesong, pemimpin rakyat Makassar pendukung Sultan Hasanuddin. Mengetahui hal tersebut, Amangkurat Agung semakin murka. Sebenarnya saat itu, Amangkurat telah menaruh curiga jika Tejoningrat bersekongkol atas pemberontakan yang dilakukan Trunojoyo, maka atas alasan itu Amangkurat Agung mengutus Tejoningrat untuk menemani Pangeran Singosari untuk melawan pemberontakan Trunojoyo untuk meyakinkan apakah Tejoningrat benar-benar bersekongkol atau tidak. Tejoningrat pun menyangggupi permintaan ayahnya agar ayahnya tidak curiga kepadanya. Tetapi tanpa diketahui oleh ayahnya, Tejoningrat ternyata telah membuat perjanjian dengan Trunojoyo bahwa nanti pada pertempura nanti mereka tidak saling menyakiti. Selain dipusingkan dengan memikirkan nasib utusannya yang dikirim untuk melawan pemberontakan Trunojoyo, saat itu Amangkurat Agung juga dipusingkan dengan Ratu Truntum, permaisuri kesayangannya, yang tiba-tiba sakit tanpa diketahui penyebabnya. Hari demi hari kesehatan Ratu Truntum semakin menurun. Tetapi tak berapa lama, Ratu Truntum akhirnya meninggal dunia. Hal tersebut membuat Amangkurat Agung semakin terpuruk. Apalagi setelah itu, dia mendapat kabar bahwa putranya, Pangeran Singasari, telah wafat dalam pertempuran. Hingga suatu hari, Amangkurat Agung menyuruh utusannya untuk mencarikan pengganti Ratu Truntum yang telah wafat. Akhirnya pilihan Amangkurat jatuh kepada Ho Yen atau Roro Oyi yang merupakan gadis keturunan Cina yang dianggap memiliki katuranggan prebawa yang kuat. Tetapi karena usia Roro Oyi yang saat itu masih muda, maka Amangkurat Agung pun menitipkan Roro Oyi kepada Ngabehi Wirorejo untuk dipingit selama 2 tahun sebelum ia nikahi.
Karena khawatir akan keselamatan putranya dalam melawan Trunojoyo, maka Amangkurat Agung menyuruh Tejoningrat untuk kembali ke Mataram. Akan tetapi kepulangan Tejoningrat tersebut memunculkan masalah, pasalnya Tejoningrat tidak sengaja melihat Roro Oyi dan seketika jatuh hati padanya. Selama berhari-hari Tejoningrat dilanda demam asmara, hal tersebut diketahui oleh kakeknya, Raden Pekik. Kakek Tejoningrat yang tidak tahan melihat cucunya seperti itu lantas berinisiatif untuk membawa Roro Oyi pulang dan menikahkan dengan Tejoningrat. Pernikahan tersebut rupanya diketahui oleh Amangkurat Agung dan lantas membuatnya murka. Keluarga Ngabehi Wirorejo dan Raden Pekik pun langsung dijatuhi hukuman mati. Dan saat itu pula Tejoningrat disuruh menghadap ayahnya. Saat bertemu ayahnya, Tejoningrat diberi pilihan ingin mendapatkan kekuasaan di Mataram atau tidak, jika ia menginginkannya maka ia harus membunuh Roro Oyi. Maka tanpa menunggu, Tejoningrat langsung pulang dan membunuh istrinya. Tanpa disangka-sangka, ternyata Tejoningrat malah diusir ayahnya dari istana. Sejak saat itu Amangkurat Agung semakin terpuruk, hal ini semakin mempermudah jalan bagi Trunojoyo untuk memberontak Mataram. Bala laskar Trunojoyo pun semakin mengganas dan semakin mematangkan siasat untuk menggempur Mataram. Saat itu Amangkurat Agung sedang sakit, maka Tejoningrat membawa ayahnya untuk segera pergi dari istana Pleret sebelum Trunojoyo tiba. Sehari setelah kepergian rombongan Raja dari istana, rombongan Trunojoyo pun tiba di Plered dan langsung melakukan serangan besar-besarnya. Dalam serangan itu Trunojoyo mengambil rampasan perang dari istana dan membawa pulang putri Amangkurat untuk diperistri.
Dalam pelariannya, Amangkurat Agung semakin lemah fisiknya. Hingga suatu hari saat Tejoningrat dengan teganya menaruh racun kedalam air kelapa yang akan diminum ayahnya. Tak berselang lama Amangkurat Agung pun wafat dan dimakamkan di Tegal. Pada saat 40 hari kematian Amangkurat Agung, Kadipaten Tegal diributkan oleh para prajurit yang melihat cahaya putih diatas pusara Amangkurat. Sesepuh disana percaya bahwa sinar yang berpendar itu merupakan wahyu keprabon mendiang Amangkurat Agung yang akan berpindah. Dan ternyata beberapa orang melihat jika sinar tersebut masuk ke dalam raga Tejoningrat, maka sejak saat itu mereka yakin kalau pengganti Amangkurat Agung ialah Tejoningrat.